Oleh Tim RS Pondok Indah
Ketahui penyebab penyakit autoimun, mulai dari faktor genetik, lingkungan, hormon, stres, hingga pola makan dan gaya hidup yang mempengaruhi risikonya.
Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh, yang seharusnya melindungi tubuh dari infeksi, justru menyerang sel-sel tubuh yang sehat. Kondisi ini dapat mempengaruhi berbagai bagian tubuh, termasuk organ, jaringan, dan bahkan kelenjar tiroid. Penyebab pasti dari penyakit autoimun masih belum sepenuhnya dipahami, namun ada beberapa faktor yang diyakini berperan penting dalam pemicu terjadinya penyakit ini. Berikut adalah beberapa penyebab umum yang dapat memicu gangguan autoimun.
Penyakit autoimun sering kali ditemukan dalam keluarga, menunjukkan bahwa faktor genetik dapat berperan dalam meningkatkan risiko seseorang untuk mengalaminya. Jika Anda memiliki anggota keluarga yang mengidap penyakit autoimun, seperti lupus, rheumatoid arthritis, atau diabetes tipe 1, Anda mungkin memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengembangkan penyakit serupa. Gen tertentu dapat membuat sistem kekebalan tubuh Anda lebih rentan terhadap serangan terhadap sel tubuh sendiri.
Faktor lingkungan, seperti infeksi virus atau paparan bahan kimia tertentu, juga dapat memicu penyakit autoimun. Virus, seperti Epstein-Barr, yang menyebabkan mononukleosis, atau infeksi lain, dapat merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerang tubuh sendiri. Selain itu, paparan bahan kimia, seperti pestisida atau tembakau, juga dapat meningkatkan risiko gangguan autoimun.
Penyakit autoimun lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria, yang menunjukkan bahwa hormon mungkin berperan dalam memicu gangguan ini. Estrogen, hormon yang lebih dominan pada wanita, diduga dapat mempengaruhi respon sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kemungkinan berkembangnya penyakit autoimun. Beberapa penyakit autoimun, seperti lupus dan multiple sclerosis, juga lebih umum terjadi pada wanita yang berada dalam usia subur.
Baca juga: Bisakah Penderita Lupus Sembuh? Pengobatan Lupus untuk Menunda Keparahannya
Stres kronis dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan memicu reaksi autoimun. Ketika tubuh mengalami stres berkepanjangan, sistem kekebalan tubuh dapat terstimulasi secara berlebihan, yang bisa menyebabkan tubuh menyerang jaringan sehat. Stres juga dapat memperburuk kondisi yang sudah ada, meningkatkan gejala dan mempercepat perkembangan penyakit autoimun.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola makan yang buruk dan gaya hidup yang tidak sehat dapat berkontribusi pada perkembangan penyakit autoimun. Diet yang kaya akan makanan olahan, gula, dan lemak jenuh dapat meningkatkan peradangan dalam tubuh dan melemahkan sistem kekebalan. Sebaliknya, pola makan yang sehat dengan banyak buah, sayuran, dan makanan anti-inflamasi dapat membantu menjaga keseimbangan sistem kekebalan tubuh.
Baca juga: Lupus Eritematosus Sistemik, Penyakit yang Menyerang Banyak Organ
Jika Anda merasa khawatir tentang gejala-gejala yang mungkin terkait dengan gangguan autoimun atau memiliki faktor risiko tertentu, segera periksakan diri Anda ke dokter spesialis penyakit dalam. Diagnosis dan pengobatan yang cepat dapat membantu mengendalikan kondisi ini sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih serius. Konsultasi juga bisa dilakukan secara mudah lewat WhatsApp RS Pondok Indah demi kesehatan Anda.
Ya. Gen tertentu meningkatkan kerentanan seseorang terhadap autoimun, tetapi gen saja tidak cukup. Contohnya, jika kembar identik memiliki gen autoimun, hanya 30-50% yang akan mengalami penyakit yang sama. Ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan besar. Gen hanya "membuka pintu", sedangkan pemicu seperti stres, infeksi, atau paparan racun menentukan apakah penyakit akan muncul. Beberapa kondisi seperti lupus dan diabetes tipe 1 memiliki hubungan kuat dengan riwayat keluarga.
Stres kronis (baik fisik maupun emosional) dapat mengganggu keseimbangan sistem imun. Saat stres, tubuh memproduksi hormon kortisol yang, jika berlebihan, justru melemahkan kemampuan imun dalam membedakan sel sehat dan ancaman luar. Stres juga memperburuk peradangan dan kebocoran usus, yang memicu respons autoimun. Meski tidak langsung menyebabkan penyakit, stres bisa menjadi "pemicu akhir" pada orang yang sudah rentan secara genetik.
Paparan jangka panjang terhadap racun lingkungan seperti asap rokok, pestisida, atau logam berat (merkuri, timbal) bisa merusak sistem imun. Zat-zat ini mengganggu keseimbangan sel T (penjaga toleransi imun) dan memicu produksi antibodi yang menyerang tubuh sendiri. Studi menunjukkan hubungan antara paparan silika (pada pekerja konstruksi) dengan skleroderma, serta asbes dengan lupus.
Tidak ada bukti kuat bahwa vaksin menyebabkan autoimun. Justru, infeksi alami (seperti campak atau COVID-19) lebih berisiko memicu autoimun karena respons imun yang lebih ganas. Vaksin dirancang untuk merangsang imun tanpa memicu badai sitokin. Kasus autoimun pasca-vaksinasi sangat langka dan biasanya terjadi pada orang yang sudah memiliki kecenderungan genetik.
Vitamin D berperan penting dalam menenangkan sistem imun agar tidak overaktif. Kekurangan vitamin D (umum pada orang jarang terpapar sinar matahari) dikaitkan dengan peningkatan risiko multiple sclerosis, rheumatoid arthritis, dan diabetes tipe 1. Namun, suplemen vitamin D belum terbukti menyembuhkan autoimun yang sudah aktif. Konsultasi dokter untuk kadar vitamin D yang optimal.
Stres kronis (baik fisik maupun emosional) dapat mengganggu keseimbangan sistem imun. Saat stres, tubuh memproduksi hormon kortisol yang, jika berlebihan, justru melemahkan kemampuan imun dalam membedakan sel sehat dan ancaman luar. Stres juga memperburuk peradangan dan kebocoran usus, yang memicu respons autoimun. Meski tidak langsung menyebabkan penyakit, stres bisa menjadi "pemicu akhir" pada orang yang sudah rentan secara genetik.
Referensi: