Deteksi Dini Gangguan Konsentrasi pada Anak

Rabu, 06 Maret 2024

RSPI Facebook linkRSPI twitter linkRSPI Linkedin link
RSPI link

Di sekolah anak laki-laki saya dikenal nakal

Deteksi Dini Gangguan Konsentrasi pada Anak

”Saat guru menerangkan dia malah ngobrol atau mengganggu teman. Tugasnya tidak ada yang kelar dan dia senang bermain. Nilainya, jangan ditanya. Padahal dia sudah di kelas V. Saya jadi cemas. Apakah dia mengalami gangguan kecerdasan?” keluhan seorang ibu dalam ruang praktik saya.


Sejumlah orang tua tentu familiar dengan keluhan di atas. Terutama bagi yang memiliki anak yang sudah duduk di bangku sekolah dasar. Beberapa keluhan bahkan sudah terdeteksi sejak si kecil duduk di taman kanak-kanak.


Ada apa dengan mereka? Apakah dia memang bodoh? Atau dia anak yang nakal? Ada beberapa penyebab anak menampilkan sejumlah gejala seperti di atas. Salah satunya karena anak mengalami gangguan konsentrasi.


Sayang, anak dengan gangguan konsentrasi kerap menerima label keliru dari guru, orang tua, dan lingkungan sosialnya. Kekeliruan dalam memandang anak dengan gangguan konsentrasi sering dianggap nakal.


Mereka dianggap sengaja membuat onar, mengganggu teman, atau ngobrol saat guru menerangkan. Bahkan, ada yang dianggap suka menentang karena seolah tidak mendengar instruksi atau gagal dalam menyelesaikan tugas-tugas di sekolah.


Padahal, anak dengan gangguan konsentrasi sangat berbeda dengan anak nakal yang sengaja menentang figur otorita (seperti; guru atau orang tua), atau sengaja membuat ulah demi mencari perhatian atau menciptakan kekacauan.


Anak dengan gangguan konsentrasi terkadang memiliki ciri seperti di atas, murni karena terbatas perhatiannya sehingga tidak mampu bertahan lama mendengar ceramah guru di kelas, mengerjakan tugas, atau berada dalam situasi yang membutuhkan usaha mental.


Jadi perbedaannya sangat jelas. Selain dicap nakal, anak dengan gangguan konsentrasi juga kerap dianggap bodoh karena akrab dengan nilai atau prestasi belajar yang rendah. Maklum, kecerdasan seorang anak masih kerap diukur dari prestasi belajar di sekolah.


Padahal, mereka gagal menyelesaikan tugas atau keliru mengerjakan tugas karena perhatian yang mudah teralih. Dengan kata lain, mereka ceroboh bukan bodoh. Tidak heran mengapa hasil tes IQ mereka biasanya lebih kecil setidaknya sekitar sepuluh poin dari potensi yang sesungguhnya.


Itu sebabnya psikolog pun tidak menganjurkan hasil tes IQ anak dengan gangguan konsentrasi berat dijadikan patokan untuk penempatan diri mereka dalam lingkup pendidikan. Kenyataannya, anak dengan gangguan konsentrasi tetap bisa memiliki potensi kecerdasan pada taraf sangat superior, superior, atau rata-rata.


Sekilas Tentang Ganguan Konsentrasi

Gangguan konsentrasi sebetulnya merupakan istilah lain dari gangguan perkembangan yang dikenal sebagai attention-deficit disorder (ADD). Setidaknya ada delapan ciri anak dengan gangguan konsentrasi, antara lain; ceroboh mengerjakan tugas, gagal mempertahankan konsentrasi pada tugas, gagal mengikuti instruksi atau tugas tidak selesai, terlihat seolah tidak mendengar saat diajak bicara, kesulitan mengelola tugas dan kegiatan pribadi, mudah lupa, dan mudah terganggu oleh rangsangan dari luar.


Enam saja dari ciri di atas tampil, maka ia sudah memenuhi kriteria mengalami gangguan konsentrasi. Pada beberapa anak, gangguan konsentrasi biasanya diikuti oleh hiperaktivitas dan impulsivitas. Kalau sudah begini biasanya diagnosis berpaling menjadi attention-deficit hyperactivity disorder atau ADHD.


Sejak Kapan Dapat Dideteksi?

Sebagai gangguan perkembangan, ADD atau ADHD sesungguhnya sudah dapat dideteksi sejak anak belum berusia tujuh tahun. Namun, biasanya diagnosis baru diberikan saat anak berusia sekolah karena dampak gangguan ini dalam kehidupan belajar anak.


Setidaknya, sekitar 3—7 persen anak usia sekolah diduga mengalami gangguan ini, dan biasanya lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 2:1 hingga 9:1. Sulit menentukan penyebab khusus gangguan konsentrasi pada anak.


Yang pasti, faktor genetis, faktor lingkungan (seperti terpapar zat-zat racun yang membuat anak lebih aktif dan kurang berkonsentrasi), hingga adanya masalah emosi dalam taraf yang berat, dapat menjadi pencetus yang menambah berat gangguan ini.


Apa yang Dapat Dilakukan Orangtua?

Bila orang tua menemukan beberapa gejala perilaku di atas, sebaiknya segera membawa anak menemui paraprofesional, antara lain; psikolog, psikiater anak, atau dokter anak. Penanganan yang tepat sejak dini diperlukan agar gangguan ini tidak mempengaruhi perkembangan kehidupan akademis, sosial, dan perkembangan emosi anak.


Biasanya, penanganan merupakan kombinasi dari pemberian obat sekaligus pemberian latihan khusus agar anak dapat bertahan lebih lama dalam tugas yang membutuhkan usaha mental, seperti latihan dalam terapi okupasi.


Anak juga dilatih memiliki kemampuan kontrol diri yang baik agar mampu mengendalikan diri bertahan dalam tugas. Kepada orang tua juga diberikan konseling dan latihan pegasuhan dan pemberian disiplin yang tepat bagi anak. Jadi, apapun masalah anak, pastikan tumbuh kembangnya selalu optimal.