Pencernaan Sehat, Tumbuh Kembang Anak Optimal

Selasa, 16 April 2024

RSPI Facebook linkRSPI twitter linkRSPI Linkedin link
RSPI link

Tak hanya diare, ada beragam gangguan atau masalah pada pencernaan anak yang perlu orang tua kenali dan antisipasi.

Pencernaan Sehat, Tumbuh Kembang Anak Optimal

Dalam tumbuh kembang anak, masalah pada pencernaan selalu menjadi perhatian utama bagi orang tua. Karena proses penyerapan nutrisi terjadi di saluran cerna, pencernaan yang sehat menjadi kunci tubuh yang sehat. Ada beragam masalah pencernaan anak yang sering muncul, mulai dari diare hingga sulit buang air besar atau sembelit. Memahami berbagai masalah pencernaan anak, tidak hanya penting untuk mendapatkan penanganan yang tepat, akan tetapi juga untuk memastikan bahwa anak bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal.


Konstipasi

Sembelit atau konstipasi adalah masalah yang sering ditemui pada anak. Anak yang mengalami sembelit memiliki keluhan frekuensi BAB yang tidak teratur disertai konsistensi tinja yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan sehingga menimbulkan nyeri saat BAB. 


Berikut adalah indikator konsistensi tinja yang dapat dilihat pada Skala Tinja Bristol. Tinja yang normal adalah tipe 3 dan 4:



Baca juga: Pentingnya Menjaga Kesehatan Saluran Cerna Anak


Tipe Konstipasi pada Anak

Ada dua tipe konstipasi yang sering dialami anak-anak, di antaranya:


  • Konstipasi Organik yaitu adanya kelainan fungsi organ. Penyebab sembelit misalnya penyakit celiac, gangguan tiroid, dan kelainan anatomi usus seperti penyakit hirschsprung
  • Konstipasi Fungsional, dialami sebagian besar anak-anak. Konstipasi ini terjadi ketika anak menahan keinginan untuk BAB. Konstipasi fungsional dapat disebabkan karena anak khawatir mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman, misalnya karena bentuk tinja yang keras.


Apa yang Terjadi Jika Konstipasi Semakin Memberat?

Apabila anak menahan BAB setiap hari maka kondisi ini dapat terjadi:

  1. Nyeri perut hebat dan kembung
  2. Nafsu makan menurun
  3. Mual atau refluks aliran balik dari lambung ke kerongkongan
  4. Diare di pakaian dalam akibat kelebihan tinja cair yang merembes


Untuk mencegah hal ini terjadi, orang tua harus sigap memeriksa kondisi anak. Adapun tanda yang dapat dideteksi oleh orang tua saat anak mengalami konstipasi adalah adanya lecet pada sekitar dubur dan ukuran tinja yang besar dan keras.


Baca juga: Mencegah Sembelit dengan Gaya Hidup Sehat


Demam Tifoid pada Anak

Pada 2019, sekitar sembilan juta orang mengalami demam tifoid dan 110.000 orang di antaranya mengalami kematian setiap tahun. Demam tifoid adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Penyebaran infeksi terjadi melalui makanan atau air yang terkontaminasi bakteri. 


Gejala Demam Tifoid

Gejala yang ditimbulkan meliputi demam yang berkepanjangan, sakit kepala, mual, nyeri perut, konstipasi, atau diare. Sebagian penderita bahkan dapat mengalami ruam. Kasus demam tifoid yang berat dapat menyebabkan komplikasi berat yang berakibat fatal.


Penanganan Demam Tifoid

Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotika. Meskipun gejala sudah menghilang, tetapi penderita dapat menjadi carrier yang masih dapat menyebarkan infeksi ke orang lain melalui bakteri di tinja. Sehingga, penting dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bakteri Salmonella typhi sudah tidak lagi ada dalam tubuh pasien.


Pencegahan Demam Tifoid

Demam tifoid cenderung terjadi pada area dengan sanitasi yang kurang baik dan kebersihan air minum yang kurang terjaga. Akses air minum bersih, sanitasi yang kuat, higienitas saat mengolah makanan, dan vaksinasi tifoid efektif mencegah terjadinya infeksi penyakit ini. Vaksinasi tifoid direkomendasikan untuk anak berusia 2 tahun dan pada usia dewasa sampai usia 45 hingga 65 tahun (tergantung dari jenis vaksin yang digunakan). 


Baca juga: Pentingnya Vaksinasi Anak untuk Pertahanan Awal Tubuh


Intoleransi Laktosa

Banyak orang tua keliru menyamakan pengertian istilah intoleransi laktosa dan alergi susu sapi. Meskipun keduanya menunjukkan gejala yang sama, tetapi pada dasarnya kedua masalah ini jelas berbeda. Intoleransi laktosa adalah masalah pencernaan sedangkan alergi susu sapi melibatkan sistem imun. Sehingga meskipun intoleransi laktosa menimbulkan rasa ketidaknyamanan, tetapi tidak akan menimbulkan kondisi yang mengancam nyawa seperti kejadian syok anafilaksis. 


Apa Itu Laktosa?

Laktosa adalah gugus gula yang terdapat pada susu dan produk turunannya seperti yogurt dan keju. Produk turunan laktosa lainnya adalah roti, sereal, makanan kemasan yang mengandung susu dan keju.


Gejala Intoleransi Laktosa

Gejala dari masalah ini tergantung dari jumlah yang dikonsumsi dan jumlah yang dapat ditolerir tubuh. Semakin banyak produk laktosa dikonsumsi, semakin berat gejala yang timbul. Gejala yang mungkin timbul di antaranya mual, nyeri perut, keram, dan kembung, BAB cair dan mengandung banyak gas.


Penanganan Intoleransi

Laktosa Apabila diperlukan dan tersedia di domisili Anda, anak dapat diberikan suplementasi enzim laktase. Selain itu, berikan suplementasi kalsium dan vitamin D jika anak kurang dapat mengonsumsi produk susu dalam jumlah yang cukup. 


Apakah Intoleransi Laktosa akan Berlangsung Selamanya?

Pada beberapa kasus, intoleransi laktosa sifatnya sementara. Namun pada sebagian orang, intoleransi laktosa dapat berlangsung seumur hidup sehingga memerlukan bimbingan nutrisi agar kecukupan kalsium dan vitamin D3 dapat terpenuhi.


Baca juga: Menyusui atau Tidak? Yuk, Kenali Kondisi Khususnya


Cara Mencegah Infeksi Bakteri Salmonella typhi

  • Memasak makanan sampai matang.
  • Menghindari susu mentah dan mengonsumsi susu pasteurisasi atau susu steril.
  • Menghindari konsumsi es batu yang tidak jelas sumber airnya.
  • Mengonsumsi air minum yang steril atau sudah dimasak.
  • Mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun sebelum mengolah makanan dan sebelum makan.
  • Mencuci sayur dan buah dengan benar