Sindrom Metabolik

Jumat, 08 Maret 2024

RSPI Facebook linkRSPI twitter linkRSPI Linkedin link
RSPI link

Peningkatan berat badan akibat mengonsumsi makanan tak sehat serta minim olahraga tidak hanya menyulitkan aktivitas sehari-hari

Sindrom Metabolik

Sindrom metabolik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan faktor risiko dalam tubuh seseorang yang dapat terjadi bersamaan dan dapat meningkatkan risiko orang tersebut untuk terkena penyakit jantung, stroke, maupun diabetes.


Penelitian menunjukkan bahwa sindrom metabolik meningkatkan risiko terkena penyakit jantung sebesar tiga kali, sementara risiko untuk terkena diabetes hampir tujuh kali lipat dibanding orang normal.


Menurut The National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEP-AT-PIII), seseorang disebut mengalami sindrom metabolik jika sedikitnya memiliki tiga dari lima kriteria berikut:


  1. Lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm*
  2. Peningkatan kadar trigliserida ≥ 150mg/dL
  3. Penurunan kadar kolesterol HDL < 40 mg/dL pada pria atau pada wanita < 50 mg/dL
  4. Peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg, tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg, atau sedang memakai obat anti hipertensi
  5. Peningkatan glukosa darah puasa ≥ 110mg/dL atau sedang memakai obat anti diabetes


*di Indonesia digunakan batasan lingkar pinggang ≥ 80 cm untuk wanita dan untuk pria ≥ 90 cm


Faktor risiko yang umum berperan dalam kejadian sindrom metabolik adalah kegemukan, obesitas sentral atau penumpukan lemak terutama di daerah perut, tekanan darah yang tinggi, gangguan kolesterol, serta resistensi insulin.


Resistesi insulin merupakan kelainan dasar terpenting yang menyebabkan terjadinya sindrom metabolik dan meningkatkan risiko terkena diabetes.


Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas dan fungsinya membantu mengontrol kadar gula di dalam aliran darah agar tetap normal. Jika seseorang mengonsumsi makanan, di saluran pencernaan, makanan itu akan diubah menjadi gula.


Gula yang berasal dari makanan, dengan bantuan hormon insulin, akan diserap ke sel tubuh untuk digunakan sebagai energi. Pada orang dengan resistensi insulin, sel-sel di tubuhnya tidak dapat merespon hormon insulin secara normal, akibatnya glukosa tidak bisa diserap secara optimal oleh tubuh.


Kadar glukosa dalam darah akan meningkat meski sebenarnya tubuh masih mampu menghasilkan insulin. Akibatnya pankreas akan terus dipicu untuk memproduksi insulin dalam jumlah berlebih sebagai reaksi terhadap kadar gula yang meningkat.


Jika berlangsung terus-menerus, dapat menyebabkan orang tersebut menderita diabetes karena tubuh tidak lagi mampu memproduksi cukup insulin untuk menjaga kadar glukosa darah tetap pada kisaran normal.


Salah satu penanda yang sering ditemukan pada orang dengan resistensi insulin adalah penebalan kulit disertai perubahan warna kulit menjadi lebih gelap, umumnya di daerah leher, punggung, maupun lipat ketiak (biasa disebut acanthosis nigricans).


Pasien dengan acanthosis nigricans, apalagi jika disertai obesitas yang jelas, besar kemungkinan sudah terkena sindrom metabolik. Meski demikian, menurunkan berat badan dapat membantu menghilangkan gejala acanthosis nigricans secara perlahan.


Prevalensi sindrom metabolik di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung kriteria yang digunakan, perbedaan ras, umur, maupun jenis kelamin. Di Indonesia, dari beberapa penelitian, didapatkan prevalensi sindrom metabolik berkisar antara 13,13 – 14,9 persen.


Walau demikian, angka ini cenderung meningkat sejalan dengan semakin banyaknya jumlah kasus obesitas atau kegemukan di Indonesia.


Kegemukan saat ini memang sudah menjadi masalah global karena merupakan komponen risiko yang penting untuk terkena sindom metabolik. Sindrom metabolik faktanya lebih sering ditemukan pada orang dengan kelebihan berat badan serta mereka yang kurang aktivitas fisiknya.


Penelitian membuktikan konsumsi rutin fast food, daging, dan makanan yang digoreng me­ningkatkan risiko sindrom metabolik. Sebaliknya konsumsi ikan, sereal, dan dairy food seperti yogurt mampu menurunkan risiko tersebut.


Olahraga atau aktivitas yang kurang juga berkaitan erat dengan kegemukan serta dapat meningkatkan risiko terkena diabetes dan jantung, sehingga WHO menetapkan aktivitas fisik sebagai salah satu komponen strategi menurunkan risiko terkena penyakit-penyakit tadi.


Sindrom metabolik juga berkecenderungan meningkat pada usia tua. Hal ini dihubungkan dengan menurunnya fungsi fisiologi secara umum.


Pencegahan serta penanganan sindrom metabolik yang terbaik adalah dengan mengatur pola hidup yang sehat, menjaga asupan nutrisi yang baik, berusaha mencapai berat badan ideal, olahraga teratur serta pengobatan untuk penyakit yang menyertai seperti hipertensi, kolesterol, diabetes, dan lain-lain.


Orang yang gemuk, kurang olahraga, hipertensi, usia tua disarankan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, termasuk cek laboratorium seperti kadar gula darah dan kolesterol. Jika ditemukan kelainan, sebaiknya konsultasikan dengan dokter untuk tata laksana selanjutnya.