Gangguan Mental Mengintai Penyintas COVID-19

Jumat, 08 Maret 2024

RSPI Facebook linkRSPI twitter linkRSPI Linkedin link
RSPI link

Kita baru saja mulai menarik napas lega dengan semakin banyaknya jumlah penduduk yang mendapat vaksinasi dan menurunnya angka penyebaran COVID-19 di Indonesia

Gangguan Mental Mengintai Penyintas COVID-19

Sebuah studi observasional terhadap lebih dari 230.000 rekam medis pasien yang dimuat dalam jurnal The Lancet Psychiatry (April 2021), menyatakan bahwa satu dari tiga orang penyintas COVID-19 akan mengalami gangguan saraf atau gangguan psikiatri dalam kurun waktu enam bulan setelah terinfeksi virus COVID-19.


Gangguan psikiatri yang paling umum ditemukan menurut studi tersebut adalah insomnia dan gangguan kecemasan. Sebanyak tiga belas persen dari pasien COVID-19 terdiagnosis mengalami keluhan ini. Diagnosis tersebut menjadi diagnosis pertama kali, artinya mereka tidak pernah memiliki riwayat gangguan tersebut sebelumnya.


COVID-somnia

Istilah “COVID-somnia” atau “Corona-somnia” mulai dikenal sekitar musim panas 2020 untuk menggambarkan dampak pandemi global terhadap pola tidur seseorang. Data yang diperoleh dari hampir seluruh belahan dunia memperlihatkan adanya sejumlah besar populasi yang mengalami kesulitan tidur.


Pada 2020, British Sleep Society melaporkan bahwa kurang dari separuh penduduk Inggris mendapatkan "tidur yang menyegarkan". Sementara di Amerika Serikat, masalah kurang tidur sudah dianggap sebagai epidemi oleh CDC (Centers for Disease Control).


Sejak berlangsungnya pandemi, kasus insomnia semakin meningkat hingga mencapai empat puluh persen. Gangguan tidur selama pandemi COVID-19 ini disebut sebagai “tandemic” (epidemi yang disebabkan oleh, diperburuk oleh, dan berjalan beriringan dengan pandemi) oleh Dr. Abinav Singh, seorang direktur medis The Indiana Sleep Center. 


Pandemi COVID-19 telah mengubah hampir semua aspek kehidupan sehari-hari. Anak-anak dan orang tua menyesuaikan diri dengan sekolah jarak jauh. Jutaan pekerja beralih pada pekerjaan jarak jauh, dirumahkan, atau kehilangan pekerjaan sama sekali.


Banyak orang yang mengalami penyakit dan kehilangan anggota keluarganya karena COVID-19. Belum lagi adanya ketidakpastian sosial ekonomi yang berkesinambungan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila seseorang mengalami kesulitan tidur, dengan begitu banyak beban dan kecemasan yang datang secara simultan.


Penyebab gangguan tidur pada masa pandemi COVID-19


Meningkatnya stres

Stres emosional akibat pandemi dapat mengubah arsitektur tidur, memperpendek durasi gelombang lambat yang bersifat restoratif, meningkatkan REM (rapid eye movement), dan cenderung membuat seseorang lebih sering terbangun di malam hari.


Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa kondisi ini dapat tetap terjadi selama dua tahun setelah seseorang mengalami tekanan emosional yang berat seperti pada pandemi ini. Stres juga akan meningkatkan kadar kortisol, suatu hormon yang bekerja berlawanan dengan melatonin – hormon yang bertanggung jawab untuk kualitas tidur.


Selama hormon kortisol tetap dalam konsentrasi yang tinggi, maka produksi melatonin akan terganggu, sehingga kualitas tidur juga akan terganggu.


Terjebak di rumah karena menjalankan “lockdown” juga memberikan tekanan tersendiri

Tidak bisa keluar rumah selama berhari-hari, melakukan segalanya dari rumah-–bersama seluruh anggota keluarga yang juga sedang berusaha menyesuaikan diri untuk belajar/bekerja secara daring, kurangnya paparan sinar matahari, selain menimbulkan stres, juga akan mengganggu irama sirkadian (proses alami yang mengatur siklus tidur-bangun setiap harinya).


Hilangnya rutinitas harian

Protokol untuk “menjaga jarak”, mengubah banyak aspek dalam menjalankan kesenangan pribadi hingga kehidupan sosial. Hilangnya berbagai aktivitas ini akan menimbulkan perasaan terisolasi dan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.


Sementara berbagai aktivitas yang normal memiliki kontribusi yang besar untuk menjaga kestabilan irama sirkadian, karena berfungsi sebagai penanda waktu. Sejak pandemi, seluruh aktivitas ini menjadi sangat minimal bahkan hilang.


Ketiadaan aktivitas rutin tersebut cenderung membuat tidur lebih larut dan bangun lebih siang. Di samping kualitas tidur menjadi buruk, gangguan pada irama sirkadian tersebut juga akan berdampak pada fungsi biologis lainnya, termasuk pencernaan, respons imunitas, dan lainnya. 


Peningkatan konsumsi informasi

Terlalu banyak mengonsumsi informasi akan secara bermakna meningkatkan tekanan mental dalam bentuk kecemasan dan ketakutan. Belum lagi berhadapan dengan disinformasi dan hoaks.


Durasi berada di depan monitor (screen time), dikaitkan dengan menurunnya kualitas tidur, terutama apabila dilakukan pada malam hari. Sinar biru dari monitor akan merangsang tubuh untuk mempertahankan kadar kortisol tetap tinggi dan menekan produksi melatonin.


Demikian sekilas tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental, terutama pengaruhnya pada kualitas tidur. Tidur adalah bagian paling sentral dalam kehidupan kita untuk memastikan seluruh fungsi tubuh dapat melakukan tugasnya dengan baik melalui keteraturan irama sirkadian yang akan menjaga tubuh kita tetap sehat, produktif, dan sejahtera.