Gadget dan Kesehatan Mental

Rabu, 06 Maret 2024

RSPI Facebook linkRSPI twitter linkRSPI Linkedin link
RSPI link

Namun, bagaimana bila penggunaan gadget dapat memicu adiksi? Berbahayakah untuk kesehatan jiwa dan mental

Gadget dan Kesehatan Mental

Kehidupan kaum urban dan milenial tidak lepas dari teknologi dan gadget (gawai). Gadget dalam hal ini terutama smartphone hampir tidak bisa lagi dianggap sebagai pelengkap atau alat bantu, namun dapat dikatakan sebagai sesuatu yang primer, dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari individu penggunanya.


Namun, bagaimana bila penggunaan gadget dapat memicu adiksi? Berbahayakah untuk kesehatan jiwa dan mental  


Realitas Penggunaan Gadget

Fungsi gadget tidak lagi sekadar sebagai alat komunikasi. Kini gadget menjadi asisten pribadi yang serba tahu, bank, kantor berjalan, toko serba ada, taman bermain, penunjuk jalan, pencari teman kencan, bahkan menjadi panggung kehidupan virtual pemilik akun media sosial.


Teknologi suara, layar dan kamera gadget yang mutakhir, menunjang para pemilik akun untuk berlomba menyajikan cuplikan kehidupan pribadi dan secara konsisten mengumbar seluruh isi pikirannya melalui media sosial.


Banyak pemilik akun yang sudah tak lagi memikirkan dampak dan manfaat bagi para pemirsanya, semata-mata untuk memenuhi dahaga untuk tetap eksis. Setiap denting notifikasi menjadi lonceng Pavlov pada reward system kita, menantikan “likes”, foto, komentar, “smiles”, dan lainnya.


Padahal, apabila digunakan secara proporsional dan efisien, sesungguhnya gadget bisa mempercepat dan meningkatkan kinerja dan performa kita dalam beraktivitas sehari-hari.


Namun sebaliknya, bila daya tarik dan kehebatan unsur hiburan virtual di dalamnya membuat kita adiktif, maka yang terjadi adalah menurunnya kualitas hidup seiring dengan munculnya berbagai gangguan fisik, seperti sindrom text neck, obesitas, sindrom carpal tunnel, gangguan penglihatan, dan lainnya.


Tak hanya gangguan fisik, gangguan mental pun mengancam, seperti hanyut dalam dunia virtual, gangguan pola tidur, gangguan konsentrasi, kecemasan, bahkan depresi, hingga gangguan sosial, seperti masalah di pekerjaan, hubungan dengan keluarga, cyber-bullying, dan lainnya.


Menjadi suatu pemandangan yang umum saat kita masuk ke dalam lift, nyaris semua penumpang lift sedang mengeluarkan smartphone untuk sekadar scrolling konten terbaru dalam akun media sosial.


Sebagian malah sudah terhipnotis dengan layar gadget mereka saat berjalan masuk ke dalam lift, dan lupa menekan tombol lantai destinasi mereka. Keluarga yang sedang menyantap makan malam, sambil sibuk dengan gadgetnya masing-masing - jangankan berkomunikasi - mereka bahkan tidak sepenuhnya menyadari apa yang sedang dimakan.


Contoh yang paling ekstrem, ketika melihat seorang anak balita yang asyik bermain dengan tablet miliknya, dan menjadi tantrum ketika tablet tersebut diambil oleh orang tuanya. Ironisnya, orang tua malah bangga karena balita mereka “sudah pintar” mengoperasikan gadget dan mampu duduk berjam-jam memainkannya.


Penelitian Gadget

Penelitian yang dilakukan pada hampir 200 remaja di Korea yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan American Psychiatric Association pada 2013 menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan smartphone secara berlebihan akan memperlihatkan lebih banyak perilaku yang problematik, termasuk adanya keluhan-keluhan fisik, gangguan atensi, atau konsentrasi dan agresivitas, bila dibandingkan dengan yang tidak menggunakan gadget secara berlebihan.


Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa, semakin adiktif seorang remaja terhadap gadget, maka akan semakin banyak dan parah gejala-gejala yang diperlihatkan.


Jumlah remaja yang mengalami adiksi terhadap smartphone semakin bertambah, karena popularitasnya sebagai tren sosial yang tidak dapat dihindari. Semakin muda usia seorang anak, semakin rentan terhadap kemungkinan adiksi.


Penggunaan smartphone di kalangan anak dan remaja, usia 5 – 19 tahun di Korea meningkat tajam dari 7,5 persen pada 2009 menjadi 67 persen pada 2012.


Berbagai fungsi smartphone, seperti internet, game online, kamera, dan terutama media sosial memberikan kontribusi yang besar terhadap timbulnya adiksi.


Berdasarkan laporan dari Seoul Metropolitan Office of Education, tidak kurang dari 6,5 persen remaja Korea mengategorikan dirinya telah menggunakan smartphone secara berlebihan.


Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Korean Youth Counselling and Welfare Institute, 41,3 persen remaja mengalami kecanduan game, 12 persen melaporkan adanya perilaku abnormal saat kehilangan smartphone mereka, 9.3 persen berkonflik dengan orang tua, dan 9 persen menggunakan smartphone mereka untuk mengunduh material pornografi. 


Di Indonesia sendiri, sudah semakin banyak kasus adiksi game online yang terpaksa harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa di berbagai kota, seperti Palembang, Semarang, dan Solo.


Menurut pemberitaan di media online, hasil pemeriksaan tim medis menyatakan masalah kejiwaan yang dialami anak-anak ini disebabkan penggunaan gawai yang berlebihan. Rata-rata pasien kecanduan mulai dari game online, browsing internet, dan sejumlah aplikasi lainnya.


Deteksi Adiksi Gadget

Begitu lazimnya penggunaan gadget, mulai dari balita hingga usia lanjut, membuat kita terkadang sulit mendeteksi mana yang sudah terkena adiksi gadget, dan mana yang masih menggunakannya dalam batas wajar.


Berikut ini ada beberapa penanda yang dapat digunakan untuk mendeteksi akan kecenderungan penggunaan smartphone yang berlebihan:


Smartphone adalah teman terdekat saya sejak bangun hingga menjelang tidur. 


  1. Saya menggunakan smartphone sebagai yang utama untuk membuat saya gembira atau bergairah. Pekerjaan atau sekolah, keluarga, bahkan teman tidak lagi menarik bila saya bersama smartphone
  2. Waktu yang saya gunakan untuk smartphone semakin hari semakin panjang. Saya harus selalu update dengan setiap notifikasi, baik di tengah malam, di toilet, di saat kerja, bahkan sewaktu saya berkendara.
  3. Saya menjadi gelisah dan mudah marah bila tidak bersama smartphone saya. Saat ini saya bahkan tidak mampu berpisah dengan smartphone saya walaupun untuk waktu yang singkat.
  4. Orang di sekitar saya mulai protes tentang perilaku saya yang berkaitan dengan smartphone. Keluarga, teman, bahkan pasangan saya menunjukkan keberatannya, karena keterikatan saya terhadap smartphone sangat mengganggu pekerjaan, liburan, waktu santai, bahkan kemesraan bersama orang terkasih.
  5. Sangat sulit bagi saya untuk memutuskan hubungan saya dengan smartphone. Mengembalikan fungsi smartphone, hanya untuk berkomunikasi singkat dan memanfaatkan fungsi vital lainnya secara efisien, seperti untuk perbankan online, petunjuk arah, dan sebagainya, ternyata selalu mengalami kegagalan.


Bila dirasakan bahwa anak atau diri kita sendiri mulai memperlihatkan tanda-tanda seperti di atas mulailah berdisiplin untuk mematikan smartphone secara berkala. Kembali gunakan seluruh indra kita dan lakukan kontak dengan kehidupan secara langsung.


Mulailah kembali menyadari bahwa hidup yang sesungguhnya lebih menyenangkan dari pada kehidupan semu melalui layar kecil smartphone; karena ada banyak hal yang bisa dilakukan dan dinikmati secara nyata, terutama ketika kita mulai berkontak lagi dengan diri kita sendiri.


Berkomunikasi secara langsung dengan orang-orang di sekitar kita tentunya lebih menambah wawasan dan meningkatkan kepekaan sosial.


Di samping itu, kinerja dan stamina mental juga fisik menjadi lebih baik, karena dengan sendirinya kita akan lebih banyak bergerak, cukup tidur, dan terhindar dari berbagai gangguan fisik dan mental akibat terlalu banyak menggunakan smartphone.